Tuesday 26 January 2016

Dilema Batik: Orang Indonesia Cinta Tapi Hobi Beli Tiruan

Jakarta - Berbicara soal kecintaan masyarakat Indonesia akan batik, walaupun terkesan besar hingga diperjuangkan mati-matian saat ada negara lain mengklaim miliknya, namun usaha yang ditunjukkan justru bertolak belakang. Jika ditelusuri, masih banyak masyarakat yang mengenakan batik imitasi.

Beberapa perusahaan hingga instansi memberlakukan hari memakai batik dalam kurun waktu lima hari kerja. Banyak pula yang tetap mengenakannya untuk acara formal. Namun dikarenakan ingin memiliki banyak pilihan untuk dikenakan sehari-hari, banyak yang memilih untuk membeli batik tiruan yang mudah didapatkan di pusat grosir dengan harga kurang dari Rp 30 ribu.

Batik-batik yang dijual di pusat grosir dengan harga sangat murah ini, sudah cukup menjelaskan bahwa batik tersebut bukan yang dikerjakan dengan benar oleh para pembatik yang butuh waktu lama. Faktanya, proses pembuatan batik yang dikerjakan oleh pengrajin sebenarnya, memerlukan ketelitian tinggi, apalagi jika menyangkut batik tulis.

Batik cap sendiri pun diproses dengan waktu yang cukup lama. Stempel batik tradisional bentuknya kecil dan ditempelkan ke kain secara perlahan blok per blok. Bisa dibayangkan betapa sulitnya membuat motif yang akurat tanpa cela.

Batik tulis hingga cap yang asli membutuhkan konsentrasi pengrajin tingkat tinggi. Lain halnya batik hasil print yang motifnya bisa diperbanyak dan diproses menggunakan mesin. Tenaga pengrajin pun tak digunakan lagi, hanya sebatas pekerja pabrik yang mengulang ritme proses kerja yang telah ditentukan. Inilah yang banyak diperjualbelikan dan dikonsumsi masyarakat.

Menurut desainer Taruna Kusmayadi, Ketua Umum Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) yang ditemui Wolipop Jumat (23/11/2012) di Kemang, Jakarta Selatan, hal ini membuat industri mode lokal khususnya batik menjadi rancu. Ada kekeliruan yang mau tidak mau menjadi sah-sah saja atas pertimbangan tertentu. "Kita dijejali hal yang imitasi tapi gimana ya? Gapapa juga? mereka perlu hidup," ujarnya.

Menyikapinya, Taruna menghimbau masyarakat agar tahu mana batik yang otentik dan tiruan. Ia melihat pendidikan akan Batik Indonesia sendiri
tidak banyak orang yang tahu. Kebanyakan hanya tahu itu motif batik. Soal asal-usul, cerita di baliknya, batik yang ditulis, dicap atau hasil
cetakan mesin, masih terbilang kurang.

Banyaknya masyarakat Indonesia yang masih senang membeli batik tiruan, selain harga yang terjangkau, juga karena faktor senang membeli imitasi dengan harga murah.

"Meskipun secara ekonomi berada dan mampu beli yang asli, orang kaya masih banyak yang pakai tas tiruan dan enggak peduli kalau hal itu jatuhin diri sendiri," kritiknya.

"Sosialisasi tentang batik masih kurang. Harus ada yang mencontohkan misalnya batik tulis yang bagus itu depan belakang tetap rapih motifnya. Batik yang benar itu, meskipun motif sama warna pasti beda, bahkan motif pun tidak bisa sama karena pengerjaan tangan manusia beda dengan dicetak mesin," pungkas desainer yang akrab disapa Nuna ini.
(fer/hst)


sumber : http://wolipop.detik.com/read/2012/11/27/074458/2102151/233/dilema-batik-orang-indonesia-cinta-tapi-hobi-beli-tiruan

No comments:

Post a Comment