Sunday 24 January 2016

Batik Indonesia

Oleh: Sardi, Drs., M.Pd. (Editing 23 September 2014)
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, batik Indonesia mulai mencari bentuk baru yang mengutamakan gagasan persatuan. Bung Karno sebagai presiden pertama Republik Indonesia (RI) berupaya menghidupkan seni budaya bangsa batik lewat penyelenggaraan pameran dan peragaan batik di istana negara. Konsep yang dikembangkan Bung Karno adalah motif terang bulan. Motif tersebut akhirnya diterjemahkan dan dirintis oleh Ibu Soed (Saridjah Niung Bintang Soedibjo). Berbeda dengan motif terang bulan sebelumnya yang berkembang pada masa prakemerdekaan, konsep dasarnya kali ini merupakan kombinasi pola tradisional batik keraton dengan batik pesisir yang melambangkan persatuan dan kesatuan bangsa. Pada tahap selanjutnya pola dari ragam hias daerah lain di Indonesia pun dikombinasikan.

 Gb.36. Batik Tiga Negeri (Kerlogue, 2004:114). 
 Era kebangkitan nasional tahun 1950-an mendorong kemunculan batik gaya tiga negeri. Sebuah motif yang memadukan unsur batik tiga daerah. Awalnya merupakan kombinasi corak serta warna dari batik khas Lasem (merah darah), Pekalongan (biru), dan Surakarta (cokelat soga). Namun kemudian berkembang menjadi pengertian umum kombinasi tiga daerah. Misalnya, paduan corak klasik Surakarta dan Yogyakarta dalam warna-warna Pekalongan. Variasi dari perpaduan tiga negeri tidak terhingga banyaknya.
Dekade tahun 1960 menjadi fase perkembangan batik Indonesia raya. Dalam fase ini corak batik tradisional sudah tidak mendominasi lagi namun diperkaya dengan modernisasi. Teknik pewarnaan colet mulai sering digunakan dengan pilihan warna yang lebih dinamis. Daya tarik visual lebih diutamakan sedangkan makna filosofis tidak terlalu diperhatikan.
            Jenis dan corak batik sangat beragam. Adanya saling pengaruh dari berbagai daerah tidak dapat dihindari. Dengan kemajuan di bidang komunikasi dan transportasi membuat hubungan antardaerah maupun antarnegara semakin mudah, dan hal ini juga berpengaruh terhadap perjalanan batik Indonesia. Dari segi teknik pembuatan, corak, dan teknik pewarnaannya, batik kian berkembang. Saat ini bahan perintang warna pada pembuatan batik tidak hanya menggunakan malam saja, namun bisa juga dengan menggunakan lilin biasa atau menggunakan tanah liat. Teknik pewarnaan juga semakin bervariasi, jika dahulu menggunakan pewarna alam, kemudian beralih ke pewarna kimia, maka saat ini batik dengan pewarna alam kembali diminati, dengan teknik pengolahan yang sudah berkembang yaitu dari bahan alam  dibuat menjadi bubuk atau gel/pasta. 
Gb.37. Batik Taman Arum Sunyiaragi, Cirebon (Elliot, 2004:90). Batik ini melambangkan taman yang harum, merupakan gambaran kehidupan di dunia yang dipenuhi dengan flora dan fauna, bukit, serta bale kambang atau paviliun terapung tempat para raja bersemedi untuk mencapai keadaan sunyiaragi, dimana jiwa dan alam menyatu untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta (Djoemena, 1990). 
Gb.38. Motif Jambi, Bungo Cendawan (sumber: Riyanto, 1997).
Gb.39. Motif Jambi, Durian Pecah (sumber: Riyanto, 1997). 
Gb.40. Motif Kalimantan Tengah, Pating Muang (sumber: Riyanto, 1997).
Gb.41. Motif Kalimantan Tengah, Garing Ngander (sumber: Riyanto, 1997).
Gb.42. Motif Riau, Tampuk Manggis (sumber: Riyanto, 1997).
Gb.43. Motif Riau, Lebah Bergantung (sumber: Riyanto, 1997).
Gb.44. Batik Kerudung Cirebon untuk Ekspor ke Sumatera tahun 1900 (Smend, 2004:64).
Dilihat dari coraknya, batik semakin beragam. Hampir setiap daerah di Indonesia saat ini mengenal batik, ada batik Riau, batik Kalimantan, serta batik Papua yang jenis serta corak batiknya sesuai dengan filosofi dan kebudayaan daerah setempat. Di Jambi misalnya, dikenal batik dengan motif pucuk rebungcandi muaro Jambi, dan sebagainya. Di tingkat lokal, batik juga dikembangkan untuk mewakili citra daerah setempat, misalnya batik Sleman, batik Kulonprogo, batik Bantul, dan masih banyak lagi. Adapula batik yang bukan mencirikan daerah tertentu karena dari sisi pewarnaan dan corak merupakan gabungan berbagai macam daerah, seperti motif kawungtruntumsidomukti khas batik Mataram berpadu dengan motif megamendung khas Cirebon, dengan warna-warna cerah seperti warna biru, hijau, dan coklat. Ada yang menyebut batik ini sebagai batik postmodern karena diperkirakan terinspirasi dari pemikiran postmodern yang bercirikan ketidakteraturan dalam sistem dan pola. Dari segi pola, corak, warna, batik ini menyimpang dari aturan, motif tidak jelas, terpotong-potong, serta beberapa motif dijadikan satu. Namun demikian untuk kategori ini masih belum ada sumber yang pasti.
Berbicara mengenai sejarah perjalanan batik di Nusantara tidak lepas dari fungsi penggunaan kain batik itu sendiri di masyarakat. Bahwa fungsi kain batik pun terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Kain batik ada dan bertahan hingga sekarang karena ia memiliki fungsi bagi masyarakat penggunanya. Batik berfungsi sebagai busana, sebagai simbol, sebagai pedoman-acuan dalam bertindak, dan sebagai sistem makna yang merupakan cerminan hasil adaptasi masyarakat dengan lingkungannya (tercermin dalam motif-motif alam).
Dilihat dari unsur ornamen, batik merupakan gambar keselarasan kosmos yang didasari oleh pengaruh Hindu Jawa yang berperan pada rangkaian ritual daur hidup masyarakat, seperti pada upacara kelahiran, perkawinan, serta pada upacara kematian. Namun saat ini batik tidak hanya berfungsi sebagai busana untuk upacara adat maupun busana sehari-hari saja, batik juga berfungsi sebagai hiasan atau dekorasi, seperti sebagai gorden, sarung bantal, taplak meja, hiasan dinding, tas, dan sebagainya.
Saat ini aturan pemakaian batik terutama di luar tembok keraton memang semakin longgar, namun diharapkan arti atau makna filosofinya masih bisa bertahan seperti ketika diciptakan pada zaman Sultan Agung. Pakaian tidak sekedar penutup tubuh saja, melainkan juga simbol tata aturan dalam bertingkah laku, simbol harapan, dan cita-cita untuk berkehidupan yang lebih baik sesuai penggambaran setiap motifnya dengan tujuan supaya tidak pudar ditelan kemajuan zaman.  Tidak hanya terbatas untuk masyarakat Jawa saja namun juga untuk masyarakat lainnya di Indonesia, batik diharapkan dapat menjadi simbol kebudayaan masyarakat setempat namun tetap seiring dengan perkembangan zaman. 

Daftar Pustaka
Elliot, Inger McCabe. (2004). Batik: Fabled Cloth of Java, New York: Clarkson N, Potter, 1984; 2nd edn Periplus Editions.
Kerlogue, Fiona. (2004). The Book of Batik. Singapore: Archilago Press.
Riyanto, dkk. (1997). Katalog Batik Indonesia, Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik.
Smend, Rudolf G. (ed.). (2004). Batik: From the Courts of Java and Sumatera. Koln: Galerie Smend 1st edn Singapore Periplus Edition.

sumber : http://www.s-ardi-indigo-batik.com/index.php/artikel/artikel-batik/49-batik-indonesia

No comments:

Post a Comment