Friday 22 January 2016

Batik Gaya Surakarta dan Gaya Yogyakarta

Oleh: Sardi, Drs., M.Pd. (Editing 23 September 2014)         
         Pada masa Palihan Nagari dengan adanya Perjanjian Giyanti tahun 1755, perjalanan batik Mataram terbelah menjadi dua: gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta. Masing-masing memiliki corak dan dinamika yang unik. Persamaan yang masih melekat antarkeduanya yakni sangat sederhana dalam pewarnaan namun sarat dengan makna dan filosofi kehidupan. Untuk gaya Surakarta karya batik didominasi warna cokelat berlatar hitam, sedangkan gaya Yogyakarta warna putih dan biru berlatar putih.
     Perbedaan corak antara gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta terkandung dalam nilai yang dikedepankan. Gaya Surakarta menganggap segala sesuatu dalam hidup diperintah oleh konsep keelokan dan keindahan atau edi peni. Motif terkenalnya a.l. sidomukti dan sidoluhur. Gaya Yogyakarta beranggapan puncak ekspresi adalah kemegahan, agung, atau adi luhung. Motif terkenalnya a.l. parang rusak barongsido asihparang kusumoceplok blah kedatonkawung, dan tambal nitik
Motif batik bisa menjadi pembeda status sosial. Sekitar akhir abad ke-18, kebanyakan batik Jawa dibuat untuk maksud khusus keluarga. Pada tahun-tahun tertentu seperti 1769, 1784, dan 1790 raja Surakarta menggunakan pola khusus bagi keluarganya. Raja beserta keluarganya, berikut aristokrat dan pengikutnya mengenakan busana batik terbaik. Para perempuan lingkungan ningrat banyak yang memakai batik sebagai daya tarik kala mendampingi suami-suami mereka yang bersaing sengit dalam menarik hati raja guna memperoleh jabatan.
 Sri Sultan Hamengkubuwana VIII membuat peraturan baru yang dimuat dalam Rijksblad van Djokjakarta no. 19 th 1927 yang berjudul Pranatan Dalem bab Namanipun Penganggé Keprabon ing Nagari Ngayogyakarta Hadinigrat sebagai revisi dari aturan lama mengenai batik larangan, yaitu batik yang pemakaiannya disesuaikan dengan jabatan, keturunan, dan kesempatan. Beberapa motif larangan tersebut yaitu: kawungparangparang rusakcemukiransawatudan lirissemen, dan alas-alasan (Gb. 24). Bahkan beberapa motif hanya boleh dipakai untuk raja, seperti motif parang rusak barong dan semen ageng karena keduanya merupakan simbol kegagahan, kekuatan, dan kekuasaan. Namun saat ini seiring dengan perkembangan zaman, aturan pemakaian batik tersebut hanya berlaku di lingkungan keraton saja sedangkan di masyarakat tidak diberlakukan peraturan yang ketat. 
Gb.19. Batik motif Sido Asih. Motif ini mengandung makna supaya  kedua mempelai hidup berumah tangga penuh dengan kasihsayang (Djomena, 1990:26) .
Gb.20. Batik motif Parang Kusumo. Batik dengan  motif ini dipakai pada upacara pertunangan, kusuma berarti bunga yang telah mekar (Djomena, 1990:17).
Gb.21. Batik motif Sido Luhur, motif ini mengandung harapan supaya si pemakai diberi kehidupan yang luhur dan mulia secara terus menerus (Djoemena, 1990:).
Gb.22. Batik motif Sido Mukti. Batik motif ini biasa dipakai pada upacara pernikahan, sido  berarti terus menerus, mukti berarti hidup dalam berkecukupan dan kebahagiaan. Motif ini mengandung pengharapan supaya mempelai diberi masa depan yang baik dan penuh kebahagiaan (Djoemena, 1990).
Gb.23. Batik motik Grompol. Ragam hias ini merupakan ragam hias khas Yogyakarta yang biasanya dikenakan pada waktu upacara pernikahan. Grompol berarti berkumpul atau bersatu. Motif ini mengandung harapan berkumpulnya sesuatu yang baik-baik, seperti rejeki, keturunan, kehidupan yang selalu rukun, kebahagiaan, dan sebagainya (Djoemena, 1990:26).
Gb. 24a. 8 delapan motif larangan (Elliot, 2004: 69).
Gb.25. Batik prada 

Daftar Pustaka
Djoemena, Nian S. (1990). Ungkapan Sehelai Batik, Its Mistery and Meaning. Jakarta: Djambatan, 1986; 2nd edn.
Elliot, Inger McCabe. (2004). Batik: Fabled Cloth of Java, New York: Clarkson N, Potter, 1984; 2nd edn Periplus Editions.

sumber : http://www.s-ardi-indigo-batik.com/index.php/artikel/artikel-batik/45-batik-gaya-surakarta-dan-gaya-yogyakarta

No comments:

Post a Comment