Thursday 21 January 2016

Batik Nusantara Dari Masa ke Masa

Oleh: Sardi, Drs., M.Pd. (Editing 23 September 2014)       
        Seperti telah diutarakan sebelumnya bahwa beberapa sumber mengatakan batik sudah dikenal dan digunakan di Nusantara sejak berabad-abad yang lalu dan masih dipakai hingga sekarang. Dahulu beberapa motif batik dikenakan khusus untuk busana dan perhelatan penting. Kala itu penggunaan batik menentukan perbedaan kelas sosial tergantung jenis, warna, dan coraknya. Busana batik bisa terus bertahan hingga saat ini salah satunya karena dirasa cocok dengan iklim lembab tropis Jawa serta praktis dipakai sebab tidak memerlukan kancing, risleting, atau peniti.

Gb. 8. Motif tumpal dan ukel pada Candi Jago. (Kempers, 1959:256) 
Corak batik yang dipilih pada mulanya berupa stilisasi flora dan fauna, beberapa bernafaskan animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha karena adanya pengaruh dari tradisi leluhur. Cikal bakal motif batik sudah tampak pada relief candi, serta fragmen terracotta zaman prasejarah. Beberapa ragam hias terinspirasi dari pola relief di Candi Borobudur serta Candi Prambanan. Motif kawung, misalnya, mirip lotus yang merepresentasikan nilai sakral bermakna kesempurnaan spiritual. Ragam hias ini juga dijumpai pada dinding-dinding Candi Syiwa Prambanan (abad ke-8) dan pada pahatan jubah patung-patung Jawa-Hindu. Sedangkan motif ceplok dapat dijumpai pada arca Budha a.l. Budha Mahadewa dari Tumpang dan arca dari Candi Jago, Jawa Timur. Motif-motif lainnya a.l. ukeltumpaltrisulacakra, dan gurda. Secara garis besar batik kuno biasanya terdiri dari garis-garis dan titik-titik yang sederhana. 
Banyak sumber sekunder menyebutkan bahwa bentang sejarah batik Nusantara melenggang semenjak masa Kerajaan Majapahit. Jejak batik era Majapahit dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulungagung, Jawa Timur. Dalam suatu kisah historis, Adipati Kalang yang merupakan penguasa Bonorowo (Sekarang Tulungagung) tidak mau tunduk pada pemerintahan Majapahit (sekarang daerah Mojokerto). Akibatnya pertempuran pun terjadi berakhir dengan tewasnya sang Adipati di sekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Para petugas dan keluarga Majapahit lalu menetap dan mengembangkan batik di daerah tersebut. Ciri khas batik Kalangbret dan Mojokerto memiliki kemiripan dengan batik Kesultanan Yogyakarta, yaitu bercorak coklat dan biru tua dengan dasaran berwarna putih. Motifnya a.l. sekar jagadpadas gempalmagel ati, dan limaran.
Gb.9. Motif kawung pada Candi, Patung Ganesha, Blitar (Kempers, 1959:123).
Sekitar paro pertama abad ke-16 terjadi pergantian kekuasaan di Majapahit dari penguasa Hindu ke penguasa Islam (Kesultanan Demak). Banyak abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga Majapahit yang mengungsi. Pengungsian ini kemudian melatarbelakangi munculnya berbagai pusat batik baru seperti di Pajajaran (motif: kembang muncanggagang senggangsameleseumat saruhunanyam cayutsigejipasi-pasikalangkang ayakanpoleng rengganis), serta di Blambangan (motif: gajah ulingparas gempalkangkung setingkessembruk cacinggedegan, ukel, blarak semplah, dan mata pitik).
Gb. 10. Batik Padjajaran (http://netsains.com)
Gb. 11. Batik Islam (Elliott, 2004:142)
Gb. 12. Batik Islam (Elliott, 2004:217). 
Batik Demak menandai awal periodisasi batik corak Islam Nusantara. Bentuk kaligrafi Arab dan penghindaran motif makhluk hidup mulai tampak. Pada masa ini salah satu tokoh Wali Sanga, Sunan Kalijaga, menggunakan batik sebagai salah satu media penyebaran Islam. Motif burung sering digunakan olehnya karena merupakan pengejawantahan kata dalam bahasa Kawi “kukila” yang berarti burung. Apabila diuraikan dalam rangkaian kata Arab “quu” dan “qilla” maka bermakna “peliharalah ucapan (mulut)-mu”. Di Demak selain untuk atribut keagamaan seperti sarung dan ikat kepala, batik juga dijadikan komoditas ekspor ke berbagai negeri Muslim (Gb. 12). Kerajaan Islam lainnya pengembang seni batik yakni Kudus, Pajang, dan Mataram. Batik Kudus yang mencakup daerah Juwana ini umumnya bercirikan latar detail dengan corak semisal bunga dan burung serba besar. Warna yang dipakai tidak mencolok, cenderung terkesan gelap. Sedangkan untuk perkembangan batik di Pajang tidak banyak meninggalkan catatan sejarah sampai akhirnya menjadi negeri bawahan Kesultanan Mataram.
 
Gb. 13. Batik Aksara Jawa (Elliott, 2004:142).
Gb. 14. Perajin membatik, tahun 1920 (Smend, 2004:25).
Era perkembangan signifikan batik di Nusantara dimulai dari Mataram dalam abad ke-17. Motif simbolis sarat makna mulai banyak diciptakan, terutama oleh penguasa. Raja ketiga Mataram, Sultan Agung Hanyakrakusuma, berperan penting dalam kreasi motif-motif tersebut. Salah satu kreasinya adalah motif parang rusak barong (Gb. 16) yang bisa dimaknai sebagai gambaran perjalanan hidup manusia.
 Di lingkungan keraton Mataram, kain batik dikenakan sebagai busana mulai dari busana harian, keprabon, upacara tradisional, dan sebagainya. Kesemua busana pria Jawa yang terdiri dari tutup kepala, nyamping, dan kampuh berbahan kain batik. Begitu pula dengan busana kaum perempuannya. Kegiatan batik-membatik di luar istana banyak dilakukan dan dikembangkan oleh para perempuan sembari mengisi waktu senggang. Meski banyak dilakukan oleh perempuan, hasil pembatikan tidak terbatas sandang untuk perempuan saja melainkan juga untuk laki-laki.
Gb. 15. Motif Ceplok, Iwan Tirta, 2009:53).
Gb.16. Motif Parang Rusak Barong (Riyanto, 1997:8 
Gb. 17. Motif Kawung. Bentuk ragam hias ini merupakan bentuk dari biji kawung atau biji dari buah pohon Enau yang dibelah melintang. Motif ini merupakan simbol dari konsep sedulur papat lima pancer, adanya keyakinan ketika seorang bayi lahir akan selalu bersamaan dengan keempat saudara kembarnya yaitu darah, air ketuban, plasenta, dan pusar yang akan mempengaruhi hingga usia tertentu. (Iwan Tirta, 2009:54). 
BBatik Mataram biasanya bercorak geometris. Ragam hias geometris yang lazim digunakan keraton yakni bentuk-bentuk seperti ceplok atau ceplokan, kawung, nitik, dan lereng atau garis miring. Warnanya dominan biru (indigo) dan cokelat (soga). Sering pula dikombinasikan dengan warna hitam di atas latar berwarna krem atau putih. Walau pewarnaan merah tersedia di area pesisir sekitar awal tahun 1817, pengrajin batik Mataram tetap tidak menggunakannya. Banyak spekulasi tentang hal ini, bisa jadi karena faktor terisolasi/tidak tahu, atau karena keraton sengaja tidak mengizinkan warna-warna bebas yang terkesan radikal. 
 Dalam aspek kepercayaan, masyarakat pada waktu itu kerap pula menghubung-hubungkan batik dengan kejadian spiritual. Sebagai contoh, seorang ibu bisa menenangkan bayinya yang menangis hanya dengan mengusapkan pucuk bawah batik kain panjangnya ke si bayi. Ada pula keyakinan kain batik bisa menyembuhkan penyakit, misalnya saja ketika si bayi sakit maka bisa diobati dengan memakaikan kain panjang bermotif khusus pada kepala si bayi. Jika sembuh, berarti penyakitnya sudah diserap oleh kain tersebut.
Gb.18. Kain panjang untuk bayi (Maxwell, 2003:340).
         Pada masa Palihan Nagari dengan adanya Perjanjian Giyanti tahun 1755, perjalanan batik Mataram terbelah menjadi dua: gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta. Masing-masing memiliki corak dan dinamika yang unik. Persamaan yang masih melekat antarkeduanya yakni sangat sederhana dalam pewarnaan namun sarat dengan makna dan filosofi kehidupan. Untuk gaya Surakarta karya batik didominasi warna cokelat berlatar hitam, sedangkan gaya Yogyakarta warna putih dan biru berlatar putih. 

Daftar Pustaka
Elliot, Inger McCabe. (2004). Batik: Fabled Cloth of Java, New York: Clarkson N, Potter, 1984; 2nd edn Periplus Editions.
Kempers, A.J. Bernet. (1959). Ancient Indonesian Art. Massachusetts: Harvard University Press.
Maxwell, Robyn J. (2003). Textiles of Southeast Asia: Tradition, Trade and Transformation. Melbourne: Oxford University Press and Australian
Riyanto, dkk. (1997). Katalog Batik Indonesia, Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik.
Smend, Rudolf G. (ed.). (2004). Batik: From the Courts of Java and Sumatera. Koln: Galerie Smend 1st edn Singapore Periplus Edition.
Tirta, Iwan. (2009). Batik: Sebuah Lakon. Jakarta: Gaya Favorit Press.

sumber : http://www.s-ardi-indigo-batik.com/index.php/artikel/artikel-batik/47-batik-nusantara-dari-masa-ke-masa

No comments:

Post a Comment